Jelangkung

 


Sandekala: Teror Arwah


Part 1


Suara-suara seperti tulang dipatahkan terdengar di telingaku yang sedang bersembunyi bersama Aziz---sahabatku, di balik lemari kayu di villa kawasan Lembang, Jawa Barat. 


Tubuh bergetar hebat, sampai aku menangis . Aku menutup mulut kuat-kuat agar isakan tangis tidak terdengar oleh Syifa. Terlihat di balik lemari, Syifa berjalan dengan kaki pincang yang diseret. Kepalanya bergerak patah-patah, dengan mata melotot berusaha mencari kami


Kami adalah tiga orang sekawan yang sedang berkemah di kawasan villa itu yang dindingnya bernuansa merah hitam. Beberapa menit yang lalu, kami melakukan permainan mengundang makhluk halus(jaelangkung) yang sekarang membuat kami terjebak dalam situasi menegangkan dan menyeramkan.


"Aku takut," kata Aziz di sebelahku.


Aku meletakkan telunjuk di bibir, meminta Aziz untuk diam.


Lemari tempat kami bersembunyi diketuk sangat keras. Aku terbelalak dan melirik ke arah Aziz. Dia malah lebih tegang dariku, lelaki gemulai itu malah mencengkram tanganku erat.


Terdengar langkah kaki semakin mendekat, aku dan Aziz kembali bersitatap. Aku menelan saliva sekuat tenaga, keringat dingin semakin bercucuran membasahi wajah dan telapak tangan yang digenggam erat oleh Aziz.


Aziz mempererat genggaman tangannya padaku. Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar, sama seperti aku yang ketakutan. Dia sepertinya lebih tegang, terlihat dari wajahnya yang pucat pasi serta dibanjiri peluh.


"Gara-gara maneh!" seruku tanpa suara seraya menunjuk Aziz.


Lemari tempat kami bersembunyi dibanting dengan keras. Sungguh luar biasa kekuatan setan yang merasuki Syifa.


"Aaa!!" Aku berteriak melihat Syifa ada di hadapanku dengan wajah yang sangat mengerikan. Mulutnya dipenuhi darah, menyeringai dengan mata melotot.


"Apa kau merindukanku?" ucapnya dengan suara yang sangat menyeramkan.


Syifa adalah orang yang taat agama lebih dari kami. Mengapa dia bisa diganggu dan dirasuki makhluk seperti ini?


"Lari!" Aziz menarik tanganku dan berlari ke area tengah villa. Villa ini adalah bangunan satu-satunya di tengah perbukitan yang asri, rumah warga terletak jauh dari sini.


Aku menyesal mengikuti ide bodoh Aziz untuk ikut dalam permainan tak lazimnya. Akhirnya Syifalah yang menjadi korban, dan tentu saja kami pun turut menjadi korban.


"Cepetan dong! Itu si Syifa makin deket!" Aziz menoleh ke belakang. Dia masih dalam posisi menarik tanganku.


"Lepasin!" Aku mengibaskan tangan dan melepaskan genggaman tangan Aziz.


Aziz menghentikan langkahnya dan berbalik padaku. "Kamu mau apa? Ayo cepet! Kita cari bantuan!" Aziz terus menarik tanganku.


"Nggak! Aku gak akan ninggalin Syifa di sini!" Dengan mantap aku berdiri menghadap Syifa yang sedang berjalan dengan langkah pincang ke arah kami.


"Kamu gila? Ayo cepet!" Aziz terus saja menarik tanganku.


"Lepas! Aku gak mau! Kita kesini bareng, Syifa harus ikut kita pulang!" seruku tegas.


"Tapi, Syifa udah begitu!" Aziz terdengar frustasi. Ketakutannya mungkin sudah sampai di ubun-ubun. Wanita cantik yang kini jilbabnya dipenuhi darah itu memang 180° berbeda dari Syifa yang kami kenal.


Syifa yang selalu tersenyum, lemah lembut dan selalu memberi kehangatan pada hati siapa saja kini berubah menjadi sosok yang sulit untuk dijelaskan. Dia begitu menyeramkan, bagiku dia lebih menyeramkan dari Zombie di film Train to Busan, juga lebih mengerikan dari manusia setengah Zombie di serial All of Us are Dead.


Syifa semakin mendekat, matanya melotot dengan pupil yang hitam sempurna. Kami berjarak satu meter. Syifa menyeringai dan menunjuk ke arah kami.


"Ghea, Ayo!" Aziz menarik tanganku namun segera aku tepis.


Hatiku yang tadinya takut, kini bak tersayat ribuan sembilu melihat keadaan Syifa. Karena kebodohan kami, dia menjadi seperti ini. Apa yang akan aku katakan pada ibunya nanti.


Syifa semakin mendekat, ia menjulurkan tangannya ke depan mencoba meraih leherku. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca.


"Ini aku, Syifa. Ini Ghea, sahabatmu," ucapku dengan lirih.


Aku masih ketakutan melihat kondisi Syifa. Namun, rasa iba lebih dominan dari rasa takutku.


Langkan Syifa kian dekat, hawa panas seketika menyeruak di sekitar. Posisi kami sekarang adalah tepat di depan pintu keluar, Aziz berada di belakangku, satu tangannya memegang handle pintu bersiap untuk membukanya.


"Ghe, plis. Dia bukan Syifa kita, dia iblis!" Aziz menarik tanganku. 


Aku menatap Syifa dengan perasaan yang hancur lebur, walaupun bau anyir darah sangat tajam, tetapi tidak membuat mual. Yang ada aku semakin teriris.


Aku masih setia menatap Syifa. "Syifa, it's me. I'm your silly friend ...," lirihku.


Syifa tidak merespon, ia terus mendekat dan tangannya kini sudah ada di hadapanku bersiap untuk mencekik. Aziz menarik paksa tubuhku sehingga terasa melayang sejenak.


Kami berlari menuju ke luar villa. "Ayo cepet, Ghe!" Aziz masih setia menggenggam tanganku.


Kami berlari sampai keluar villa. Kegelapan malam menemani pelarian kami. Udara yang dingin di daerah dataran tinggi tidak membuat keringat berhenti bercucuran, napasku tersengal mengiringi pelarian ini.


Deru nafas beradu dengan suara daun-daun yang terinjak di setiap langkah kami. Suara burung hantu semakin menambah ketegangan pada malam ini.


"Bentar, Ziz. Aku cape," ucapku pada Aziz dengan nafas tersengal.


"Ghe, ayolah!" Aziz berbicara dengan napas yang ngos-ngosan dan wajah panik.


"Ziz! Aku cape, kamu pergilah. Aku akan menunggu Syifa!" seruku tegas.


"Ghea! Dia bukan Syifa kita!" tegas Aziz.


"Cukup! Ini semua gara-gara kamu ya, kalau kita gak ikutin permainan bodoh kamu, kita gak akan kayak gini!" Aku berkata dengan tegas kepada Aziz.


"Ghe, please. Oke! Ini salahku tapi ayolah kita pulang dulu," ucap Aziz frustasi.


"Itu Syifa!" seruku menunjuk ke arah Syifa yang terlihat seperti … melayang! Dia melayang!


"Ghe, ayo!" Aziz menarik tanganku lagi.


"Lepas!" ucapku lantang.


Syifa semakin mendekat, aku benar-benar terkejut melihatnya seperti itu. Jantungku berdetak lebih cepat lagi, keringat terus bercucuran. Dengan tubuh gemetar aku berusaha menghadapi Syifa.


Syifa berhenti tepat satu meter di depanku. Penampakannya semakin menyeramkan, hijab yang menutupi kepala sampai dada penuh dengan darah. Pupil matanya hitam sempurna, tangan terjulur ke depan dengan kuku-kuku yang panjang.


Pandanganku terfokus pada Syifa, suasana sekitar seketika menjadi hening dan samar. Aku hanya bisa melihat Syifa yang semakin mendekat ke arahku.


Tatapan Syifa lurus dan tajam kepadaku. "Tolong …," lirihnya.


Aku terbelalak, Apakah Syifa benar meminta tolong? Kepalaku semakin sakit, tidak bisa merasakan suasana sekitar. Aku hanya bisa melihat Syifa yang kini tepat di hadapan. Aku memejamkan mata, biarlah aku mati di tangannya. Kuku yang panjang mulai terasa menyentuh leherku.


Tiba-tiba aku merasa tubuh tertarik dengan cepat, membuat aku melayang sekejap. Dalam gerakan lambat aku masih menatap Syifa, kemudian beralih pada sosok yang menarik dan menggendongku ke pangkuannya.


"Bian?" gumamku. Sosok itu, Bian Baskoro---calon suamiku. 


"Kenapa dia ada di sini? Siapa yang memanggilnya? Dimana Aziz?" gumamku tanpa suara. 


Dengan tubuh dalam pangkuan Bian, aku melihat Syifa menyeringai dan berusaha mengejar kami. Aku begitu sakit hati saat posisi semakin jauh darinya. "Maafkan aku, Syifa."


Aku melingkarkan tangan pada leher Bian, kutatap matanya penuh dengan kecemasan. Tubuhku terguncang karena Bian berlari menuju mobilnya. Perlahan rasa sesak mulai menerpa dada, kepala pun berdenyut nyeri, mataku terasa berat untuk terbuka. Semua menjadi gelap di sekitar, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi.


Dengan kepala yang masih berdenyut nyeri, aku berusaha membuka mata. Sayup kudengar suara orang-orang berbincang, perlahan sinar terang menyilaukan mata membuat kepalaku semakin sakit.


Aku meletakkan telapak tangan di dahi, berusaha menutupi cahaya yang menyilaukan mata. Perlahan terlihat ruangan bernuansa putih dengan aroma antibiotik yang sangat menyengat. 


"Dimana aku?" gumamku.


"Ghe, udah sadar?" Mama menghampiriku dan mengusap puncak kepalaku.


"Aku di mana, Ma?" Aku bangkit dari posisi berbaring menjadi duduk bersandar ke ranjang.


"Kamu di rumah sakit, tadi kamu pingsan."


"Pingsan?" Aku masih belum bisa mengingat apa yang terjadi. Namun, beberapa detik kemudian, bayangan saat kami bermain permainan memanggil roh halus dan saat Syifa berubah menjadi iblis lalu mengejar kami melintas di kepala.


Aku ingat, terakhir aku berhadapan dengan Syifa. Tiba-tiba aku dipangku dan dibawa lari oleh Bian.


"Dimana Aziz, Ma?" tanyaku panik, "Lalu Syifa dimana, Ma?"


Aku sedikit berteriak karena rasa panik. Papa mungkin mendengar teriakanku, Beliau mendekat ke ranjang. "Ada apa, Ghe? Kenapa berteriak?"


"Dimana Aziz dan Syifa? Dimana mereka, Pa?" tanyaku frustasi. Aku benar-benar khawatir pada kedua sahabatku itu.


Mama dan Papa malah bersilang tatap dengan wajah sendu.


"Jawab! Dimana mereka?"


Lanjut part 2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paman pulang part 2

resep ayam saus pedas manis

resep cumi cabe hijau