Kemarin paman pulang( kisah nyata ) thn 2013


 PART 1

KEMARIN PAMAN PULANG


“Bu akhirnya om Ade pulaang” ujar Lutfi melompat riang


“Hush! Enggak. Enggak. Om Ade kerjanya masih lama. ujar Dewi.


“masuk om sini, ngapain diluar? Hujan om” panggil Lutfi sambil membuka pintu tanpa mempedulikan apa kata ibunya.


“Abang ngapain.. gaada orang diluar..” ujar Dewi sambil menarik pelan tangan anaknya dari jendela.


“ini om Ade pulang bu.. tapi… ngapain om Ade manjat dinding ya?..”


KEMARIN PAMAN PULANG

(Terinspirasi dari Kisah Nyata)


***


Sumatera Barat, 2013


“Buku udah? Pensil? Penghapus?” tanya Dewi ke Lutfi sambil menyisir rambut klimis anaknya itu ke samping.


“Udah bu, udah semua” jawab Lutfi sambil memasang kaos kaki putihnya.


“Mana om Ade? Udah bangun belum, itu coba panggil ke rumah nenek” perintah Dewi.


Lutfi mengangguk lalu bergegas berlari ke rumah sebelah, rumah lama milik neneknya.


“Assalamualaikuuum…” salam Lutfi sambil menyelonong masuk ke dalam rumah yang tidak terkunci itu. Di ruang tengah, Ade dan Salman, adik dan abang kandung dari Dewi tengah mengopi sambil berbincang hangat pagi itu.


“Tuh, lah dijapuiknyo dek penumpang hahaha” (Tuh, di jemput sama penumpang hahaha) ujar Salman sang anak tertua sambil menunjuk sisi belakang Ade, adiknya, menggunakan gelas kopi yang lalu ia seruput.


Ade berbalik dan mendapati Lutfi sudah berdiri di belakangnya dengan topi dan celana merah pendek sambil menyandang sebuah tas berwarna kuning cerah.


“Eh? Mau kemana udah rapi banget?” canda Ade kepada keponakannya itu.


“Sekolah lah oooommm” jawab Lutfi.


“Yaudah, pergilah. Nunggu apa lagi?” ujar Ade.


“Anterin Lutfi oom” jawab Lutfi sambil menarik narik tangan omnya itu.


“Ah males ah! Jalan kaki aja sana!” bentak Ade yang dibuat dibuat untuk menggoda Lutfi. Bahasa Indonesianya terdengar aangat dipaksa dan berbalut logat Minang yang masih terasa sangat kental.


Tanpa disangka, candaan itu dianggap Lutfi serius. Ia melemparkan topi merahnya ke lantai dan segera berlari keluar, tak lama terdengarlah teriakan Lutfi.


“Maaaaaaaaa om Ade gamau anterin Lutfi haaaa….” Rengek Lutfi sambil menangis mengadu ke ibunya, mengira bahwa Ade benar benar serius mengatakan itu.


“Ahahahaha” Ade tertawa di bangkunya mendengar suara keponakannya itu yang mulai menangis mengadu ke ibunya.


“Heh kamu ini kasian itu si Lutfi sampai nangis padahal mau sekolah. Sana anterin! aahaha" perintah Salman sambil mendorong pelan bahu adiknya.


"iya iya bangg. Lagian si Lutfi cengeng banget, cowok tapi dibilangin gitu aja nangis ahaha) Ade bangkit dan berjalan ke arah jaket hitam yang tergantung di pintu.


“Bukan masalah cengengnya, itu dia udah seneng banget tadi hari pertama sekolahnya abis liburan dianterin sama om kesayangan. Pas kamu bilang gitu, langsung patah hati dia. Iseng banget jadi om aduuh", protes Salman melihat kelakuan adiknya yang memang iseng itu.


Ade mengenakan jaket kulit hitam favoritnya yang dig4ntung di belakang pintu kamar, mengambil kunci motor rx king yang ada di atas tv, dan segera pergi ke dapur untuk memanaskan motor.


“Waang ko mancari nangih paja jo ko mah!” (Kamu ini bikin nangis keponakanmu mulu!) Hamidah,  yang saat itu sedang menyeduh teh di dapur menengur kelakuan usil anaknya itu. Namun Ade hanya terkekeh sambil mendorong motornya keluar.


Di luar, Lutfi sedang memeluk Dewi sambil membenamkan kepalanya ke perut ibunya itu. Dewi memasang muka kesal saat melihat adiknya yang masih tersenyam senyum keluar dengan menuntun motor rx king berwarna hitam mengkilap itu.


“Nih, liat nih kelakuanmu. Nangis si Lutfi” ujar Dewi sambil mengelus elus punggung anaknya itu.


“Ahahaha, bang sini bang. Masa cowok cengeng. Ayo om Ade anterin. Mau sekolah kan? Atau om aja nih yang upacara?” ujar Ade sambil memain mainkan gas motornya menderu deru.


Lutfi mengangkat kepalanya dan melihat ke belakang. Om Ade sudah siap dengan jaket hitam dan mengenakan topi sekolah dasar miliknya yang ia lempar tadi.


Melihat hal itu, Lutfi tersenyum dan tertawa. “Om udah gede gausah sekolah hahaha” tawa Lutfi seakan lupa ia barusan habis menangis.


“Nah makannya, ayuk berangkat!” ajak Ade sambil sedikit memundurkan posisi duduknya. Lutfi lalu menyalimi tangan Dewi dan segera memanjat motor tua itu. Ia segera duduk di posisi favoritnya, di atas tangki motor sambil dua tangannya berada di stang motor seolah olah ialah yang mengemudikan motor itu.


“Siap?” tanya Ade.


“Siap om! Jalan! Jalan!” ucap Lutfi bersemangat.


“Pergi dulu kak” ujar Ade ke Dewi.


“Ya, hati hati” jawab Dewi dengan senyum tipis tersungging dibibirnya.


Motor itupun mulai berjalan meninggalkan rumah keluarga pasangan Hamidah dan Mardani, menyusuri jalan kampung asri dengan penduduk yang baru saja akan memulai kegiatannya dipagi hari..


Hamidah dan Mardani memiliki tiga orang anak, dua laki laki dan satu perempuan. Anak pertamanya bernama Salman,seorang pria jangkung dan bertubuh badan besar serta tegap. Sehari hari ia bekerja sebagai mandor pembangunan rumah atau proyek proyek di desa. Diluar rumah ia dikenal pendiam dan hanya bicara seperlunya, namun jika di rumah ia adalah orang yang ramah dan hangat, terutama kepada kedua adiknya, Dewi dan Ade. Ia belum berkeluarga, entah karena alasan apa, tapi sepertinya menikah bukan prioritas dalam kehidupannya.


Anak kedua Hamidah adalah Dewi, anak perempuan satu satunya dari keluarga ini. Ia terpaut umur cukup jauh dari abangnya, Salman, sekitar 7 tahun. Namun berbeda dengan Salman, Dewi sudah menikah dan memiliki seorang anak laki laki bernama Lutfi Nanda Putra. Tak lama lagi Lutfi akan kehadiran adiknya yang saat ini masih berada di kandungan Dewi. Suaminya bekerja sebagai pengepul sawit yang kadang hanya Sabtu Minggu di rumah, sementara sisanya dihabiskan di kebun yang berjarak cukup jauh dari rumah.


Anak terakhir Hamidah adalah Ade, wajahnya sangat mirip dengan Dewi namun versi laki laki. Umur keduanya juga hanya terpaut 2 tahun. Ade juga belum menikah, mungkin karena stigma tentangnya yang dikenal sebagai preman kampung. 

Ade bertubuh pendek dan sedikit gemuk, namun dibalik tubuh kecilnya, ia memiliki ketahanan tubuh dan kemampuan bela diri yang baik. Meskipun disebut preman, Ade tidak melakukan perbuatan negatif kepada warga kampung. Keburukan yang sering ia lakukan adalah mabuk mabukan saat ada pagelaran orgen tunggal, dan sesekali berkelahi dengan preman lainnya saat ia merasa tersinggung. Namun dibalik itu, Ade adalah seorang yang baik dan ramah, terlebih kepada Lutfi, keponakan kesayangannya..


Akhirnya keduanya tiba di depan sekolah dasar bersamaan dengan aku yang sedang menurunkan adikku.


Lutfi dan adikku memang bersekolah di sekolah yang sama. Hamidah sendiri adalah adik kandung dari nenekku dari jalur ayah. Oh iya sebelumnya, perkenalkan aku Ari, narasumber cerita ini. Karena garis keluarga diatas, aku juga merupakan keponakan om Salman, Tante Dewi dan om Ade. Namun jujur, aku tidak begitu dekat dengan ketiganya.


“Eh om Ade, nganterin Lutfi om?” tanyaku.


“Iya, abis nganter si adek ya?” tanya om Ade balik.


“iya om, sekalian berangkat sekolah juga” jawabku yang memang terbiasa mengantar adikku dahulu sebelum berangkat ke sekolah. Namun baru kali ini aku bertemu dengan om Ade, mungkin karena selama ini aku mengantarkan adikku kepagian.


Tidak banyak yang kami bicarakan, om Ade lalu kembali ke rumahnya kembali sementara aku melanjutkan perjalananku ke sekolah.


Sesampainya di rumah, Ade menaruh motornya di bawah pohon rindang di depan rumah. Hamidah yang saat itu sedang duduk di depan rumah sambil memandangi jalan, menegur anaknya itu.


“Tadi abangmu pesan, katanya kalo Ade udah balik suruh bantu bantu di sawah belakang" ujar Hamidah.


“Oh iya iya, makan dulu deh lapar" jawab Ade sambil berlalu masuk ke dalam rumah. Ia mengambil sepiring nasi dan lauk, lalu memakannya sambil menonton acara televisi.


Acara televisi saat itu ternyata begitu menarik. Ade tetap berada disana dan melupakan pesan Hamidah untuk menyusul Salman ke sawah. Batang demi batang rok*k habis untuk mengisi waktu menontonnya. Hingga tidak terasa, waktu sudah hampir menunjukkan pukul 10 siang, sudah waktunya menjemput Lutfi dari sekolah.


Ketika Ade sedang bersiap untuk menjemput Lutfi, di depan pintu tiba tiba saja Salman sudah berdiri dengan peluh yang membasahi wajah dan bajunya. 


"Kamu ga dikabarin ibu suruh ke belakang tadi?.." tanya Salman yang mengejutkan adiknya itu.


"Eh astaghfirullah, Maaf saya lupa bang.. tadi abis makan keasyikan nonton, maaf maaf, nanti abis jemput si Lutfi saya bantuin ya bang..” jawab Ade sedikit panik dan merasa bersalah.


“udah gausah, udah mau beres juga. Lain kali kalo ibu pesen itu diinget dan jangan ditunda tunda" ujar Salman dengan nada tenang sambil mengelap wajahnya yang dipenuhi debu. Ia memang pribadi yang seperti itu, jarang sekali adik adiknya mendapati Salman marah Hal ini justru membuat adik adiknya semakin segan kepadanya. Kalaupun marah, Salman hanya akan diam dan menjauh. Lalu tak lama kembali lagi seperti semula.


“Maaf mambana yo bang.. talupo..” (Maaf ya bang. Lupa banget..) ujar Ade sekali lagi.


“Iyo.. lah pai lah japuik si Lutfi, lah ka siang hari” (Iya iya, udah jemput si Lutfi sana udah mau siang” jawab Salman.


Ade lalu bergegas menghidupkan motornya dan menjemput Lutfi. Tak lupa di perjalanan menuju sekolah, Ade membeli kue kacang.. Kue kacang ini adalah makanan kesukaan Lutfi yang tidak pernah bosan ia makan.


Saat Ade tiba di sekolah, kelas Lutfi masih belum bubaran. Terlihat guru di dalam kelasnya sedang memberikan pertanyaan, siswa yang bisa menjawab bisa pulang lebih dahulu dari yang lain.


Satu persatu siswa yang bisa menjawab pertanyaan itu keluar dengan wajah riangnya. Cukup lama Ade menunggu sampai akhirnya giliran Lutfi yang keluar dari ruangan itu.


Melihat kemunculan Lutfi, Ade menyambutnya dengan senyuman ejekan.


“Lama banget, ga bisa jawab pertanyaan pulang ya?” canda Ade.


“Bu gurunya gak pernah nunjuk Lutfi om! Padahal Lutfi udah tunjuk tangan duluan” adu Lutfi yang wajahnya terlihat kesal itu.


“Ahahaha lagian badanmu kekecilan, itu makannya ga keliatan sama bu guru ahaha” ejek Ade lagi disela sela tawanya.


“Om!” Lutfi memukul kesal omnya itu dengan wajah yang memerah. Sikap Lutfi ini justru membuat Ade semakin senang menggoda keponakannya ini.


“Udah udah, pulang yuk, nih tadi om beli di warung buat kamu” ujar Ade sambil mengeluarkan dua kue kacang dari kantong jaketnya.


Wajah Lutfi seketika berbinar. Ia menerima kue itu sambil tersenyum lebar.


“Wah makasih ooom” ujarnya sambil bergegas membuka plastik putih pembungkus kue itu dan segera memakannya.


Ade memperhatikan Lutfi sambil tersenyum senang. Menyadari hal itu, Lutfi tiba tiba saja teringat satu kue kacang yang belum ia makan.


“Nih om, makan juga” katanya sambil menyodorkan satu kue lagi ke Ade.


“Eh om dapet juga?” tanyanya terkejut dengan sikap keponakannya itu.


“Iya, makan bareng bareng kitaa” jawab Lutfi riang.


Ade lalu mengambil kue itu dan memakannya bersama Lutfi. Setelah kue itu habis, keduanya pulang ke rumah dan disepanjang jalan Lutfi menceritakan apa saja yang sudah ia pelajari di sekolah hari ini. Ade menyimaknya dengan antusias sambil sesekali bertanya balik kepada keponakanya itu.


Sesampainya di rumah, Lutfi segera berlari ke rumah Dewi, sementara Ade masuk ke rumah Hamidah. Di dalam, ia mendapati Salman tidak ada di rumah, kemungkinan Salman kembali lagi ke sawah belakang. Ade tau tidak mungkin pekerjaan di belakang sudah selesai seperti yg Salman katakan.


Mengingat kejadian tadi, Ade yg tidak enak hati, segera mengganti celananya dengan celana pendek dan baju kaus lusuh. Ia berniat membantu Salman yang sedang bekerja di belakang. Hamidah saat itu meminta kedua anaknya untuk membukakan jalur jalan kaki dari belakang rumah ke sawah. Selama ini, Mardani, sang ayah, selalu memutar untuk pergi ke sawah dan tidak berani membelah hutan kecil di belakang rumah.


Saat sampai di lokasi, Ade mendapati Salman tengah duduk terengah engah. Di hadapannya sudah ada sedikit jalur terbuka yg mengarah langsung ke sawah, walaupun belum benar benar sampai ke ujung hutan. Beberapa sisa tebangan pohon dan ranting berada di kiri kanan jalur itu. Pada salah satu p*tongan pohon diujung jalur yang sudah terbuka, tertancap sebuah kapak yang digunakan Salman bekerja sejak pagi tadi.


“Wah iyo abang surang nan mangarajoan ko???” (Wah ini abang sendiri yg ngerjain???) ujar Ade takjub.


"Lagian kamunya ga bantuin" sindir Salman.


"jangan gitu baang…" ujar Ade tersenyum malu sambil mendekat ke abangnya itu dan duduk di sampingnya.


"ya, semoga dengan ini bapak bisa lebih gampang ke sawahnya. Kasihan bapak mutar jauh, kakinya udah sering sakit" ujar Salman.


"Iya bang.. harusnya bapak juga ga takut lagi lewat sini kalau udah terang gini" balas Ade.


Mardani, memang seorang bapak pekerja keras, ia memiliki beberapa petak sawah yg ia kelola sendiri. Di usianya yg sudah tak lagi muda, setiap paginya ia akan pergi ke sawah untuk membuka saluran air dan membersihkan rumput rumput liar.

Sedangkan sore harinya dia akan kembali lagi untuk mengusir burung burung yang menjadi hama sawah.


Dahulu Mardani sebenarnya sering melalui hutan belakang rumah ini untuk berangkat ke sawah. Namun, suatu ketika ia pernah bertemu ular besar yg menghalangi jalannya. Ular itu tidak melakukan apa apa kepada Mardani, namun kemudian ia demam berhari hari dan trauma...


Bersambung part 2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paman pulang part 2

resep ayam saus pedas manis

resep cumi cabe hijau